Saturday, March 9, 2019

Bukan Untuk Bendera Yang Sama


Lingkaran baik saya mulai geram, waktu saya tetap diam.

Mereka yang lemah dan merasa tidak berwenang, tetap merayakan kemenangan diatas keheningan yang tetap saya jaga.
Ini bukan satu kali, tetapi dua kali. Dalam dua tersebut, ada banyak kisah tidak manusiawi yang memang harus diakhiri.

Di Surabaya sana, mereka bersuka cita dalam jumlah yang banyak, menertawakan kebenaran yang mengalahkan banyaknya kesalahan. Tiba saatnya mereka menyesal, tidak banyak yang bisa saya perbuat, tidak banyak empati yang bisa saya tunjukkan, hingga membuat mereka semakin merang.
Pada perayaan Paskah tahun lalu, mereka mulai bergerilya. Besar sekali keinginannya untuk membuat saya dikeluarkan dari tempat saya mencari nafkah saat itu. Diam-diam saya menangis agar tidak terlihat lemah. Diam-diam pergi ke rumah Tuhan, karena tak lagi kuasa.
Mereka lalu tak jera. Saat panggilan hati saya mengarahkan saya ke Yogyakarta, mereka bergerak lebih cepat, sampai dengan sosok yang tidak saya kenali sekalipun, berusaha keras untuk tidak membuat saya diterima.

Saya tetap diam.
Dua tempat, satu bendera, sakit yang sama.
Lisan yang tidak berdendang baik di telinga, tulisan yang tak sedap di pandang, dan citra yang terlalu nista untuk selalu dijaga demi sebuah nama.

Dan saya tetap diam.
Di Jakarta ini, satu tahun bukan perjalanan singkat, sayangnya. Matahari pagi membuat kami segan bangun dari mimpi. Membayangkan kaki melangkah saja kami takut. Berbuat benar, kami takut, takut kalau tidak cukup membuatnya senang atau kreditnya bertambah.
Berbuat baik, kami takut, takut disangka pura-pura, walau dengan menjadi diri sendiri, bahkan lebih menakutkan.
Bahkan saat ditanya kenapa, pun, lidah terasa kelu, terlalu lemah untuk bercerita yang sebenarnya. Dalam perjalanan satu tahun, rasanya ada banyak kalimat keluar dari pengakuan saya. Yang lalu diabaikan begitu saja, agar dirasa dan terlihat baik-baik saja, walau sebenarnya tidak.

Dan saya tetap diam.
Dendam tidak pernah diperkenankan, tidak ada dalam sejarah.
Diam bagi saya, adalah segalanya.
Ada doa di sana, ada karma di sana.
Dan ada berkat yang tidak ada habisnya, bagi saya yang membiarkannya begitu saja, tanpa berucap sepatah kata.

Tulisan tangan saat lelah, di Surabaya.
Di simpan baik dalam Alkitab, oleh kerabat, Kak Max, di Yogyakarta.


No comments:

Post a Comment