Saturday, September 7, 2013

Ada Selamat Tinggal...



Sudah lama sekali air matanya tidak berlinang karena lelaki.
Terakhir di hari yang sama, saat ia harus menahan sakit jarum suntik rumah sakit yang harus sudah diganti namun ia enggan karena terlalu sakit rasanya. Di hari yang sama, ada air mata yang jatuh memaksa antara senang dan sedih.

Lebih sakit dari jarum yang seharusnya diganti. Tapi ditahannya setengah mati, dan setengah hati, waktu kekasih hatinya pamit dengan rasa khawatir. Menjaga perasaan perempuannya yang terbaring lemah di kasur rumah sakit, namun tidak sanggup pula kekasihnya tidak membagi cerita bahagianya.

Pelan-pelan kekasihnya bicara “It looks like I won’t be moving back to Jakarta”.

Ia tertegun sejenak. Nafasnya yang satu-satu ia sanggupkan untuk menjadi pribadi yang ikhlas, dan menyisakan beberapa detik untuk akhirnya membalas “ :’) I know”

Air matanya tumpah, deras melebihi cairan infus yang kian menemani malam-malamnya yang sepi. Sarung bantal bau rumah sakit-nya basah. Kalau saja ia bisa teriak dan mencabut infus demi rasa sakitnya, kalau saja ia juga bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya di saat yang sama, sungguh akan ia lakukan.
Namun janjinya kepada sang kekasih dan kepada Tuhan, untuk turut bahagia kalau memang pergi dari Indonesia membuat kekasihnya bahagia lebih dari apapun, sungguh janji itu ia tepati. Saat itu juga.

Surat cintanya yang diam-diam dia buat namun disembunyikan karena rasa segan, akhirnya diberikan. “All the best Risya, I will read it.” Ada satu ikon peluk di sana.
Tidak lagi ia dengar kata Baby, atau Babe, atau Sayang seperti biasa kekasihnya memanggilnya.

Dengan sangat memaksa, ia lalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Mengabari kekasihnya perkembangan sakitnya yang luar biasa sakitnya kali ini. Dan tidak pernah dijawab.
Namun ia tahu, jauh di sana, betapa lebih sakit kekasihnya menahan rasa ingin memeluk atau sekedar berbisik “All will well”.

Hari ini, air mata itu jatuh lagi. Bukan karena tembang Bruno Mars – When I Was Your Man terdengar berkali-kali. Bukan juga karena perutnya yang terlalu sakit. Tetapi saat ia meminta maaf, mungkin untuk terakhir kalinya.
“I can’t stop to annoy you David. Not until I really know that you will never come back”
Hatinya girang, waktu tau kekasihnya (bukan lagi) bisa dihubungi. Dan lalu lelakinya menjawab
“You will find a nice guy someday”.
Degup jantungnya semakin cepat, air matanya ditahan, takut-takut Ayah-Ibunya mendapati gadis kecilnya menangis, dipatahkan hatinya karena asmara.

“Is it a pushy things to makes me move on? I’m trying. Trust me I’m trying.
Don’t push me too hard to move my feet, Dave. I’ve tried many times. And I need some time.”

Perempuan ini semakin tidak terima, ketika memang ia sadari bahwa pekerjaan itu, yang merenggut kekasihnya kembali pulang. Pulang ke negara asalnya, bukan pulang ke hatinya. Bukan karena lelakinya tidak mau bersamanya tapi memang semua tentang pekerjaan.

Kalau saja ia bisa lari dan menuntut semuanya, tapi tidak ia lakukan. Hatinya keras, memaksakan dirinya menerima semua dan menjanjikan semua akan baik saja. Walau ia terlalu lelah, menjanjikan hal yang sama dengan nyata yang tak pernah sama.

Tepat 2 hari yang lalu ia berteriak kecil “No, no, no, no, no, no way I’m not waking up tomorrow morning and finding that there’s no David and Doogle around!”

Hari ini, 22 Agustus 2013, tepat di hari mereka harus benar-benar berpisah, ada selamat tinggal terucap:
“Take care, Dave. Thanks for being my life.”

Tangisnya pecah. Dan semua terasa dingin. Beku, hawa panas hilang diserapnya.


 untuk engkau yang mencinta dan dicinta :')