Sudah lama sekali air matanya tidak berlinang karena lelaki.
Terakhir di hari yang sama, saat ia harus menahan sakit
jarum suntik rumah sakit yang harus sudah diganti namun ia enggan karena
terlalu sakit rasanya. Di hari yang sama, ada air mata yang jatuh memaksa
antara senang dan sedih.
Lebih sakit dari jarum yang seharusnya diganti. Tapi
ditahannya setengah mati, dan setengah hati, waktu kekasih hatinya pamit dengan
rasa khawatir. Menjaga perasaan perempuannya yang terbaring lemah di kasur
rumah sakit, namun tidak sanggup pula kekasihnya tidak membagi cerita
bahagianya.
Pelan-pelan kekasihnya bicara “It looks like I won’t be
moving back to Jakarta”.
Ia tertegun sejenak. Nafasnya yang satu-satu ia sanggupkan
untuk menjadi pribadi yang ikhlas, dan menyisakan beberapa detik untuk akhirnya
membalas “ :’) I know”
Air matanya tumpah, deras melebihi cairan infus yang kian
menemani malam-malamnya yang sepi. Sarung bantal bau rumah sakit-nya basah.
Kalau saja ia bisa teriak dan mencabut infus demi rasa sakitnya, kalau saja ia
juga bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya di saat yang sama, sungguh akan ia
lakukan.
Namun janjinya kepada sang kekasih dan kepada Tuhan, untuk
turut bahagia kalau memang pergi dari Indonesia membuat kekasihnya bahagia
lebih dari apapun, sungguh janji itu ia tepati. Saat itu juga.
Surat cintanya yang diam-diam dia buat namun disembunyikan
karena rasa segan, akhirnya diberikan. “All the best Risya, I will read it.”
Ada satu ikon peluk di sana.
Tidak lagi ia dengar kata Baby, atau Babe, atau Sayang
seperti biasa kekasihnya memanggilnya.
Dengan sangat memaksa, ia lalu bersikap seolah tidak terjadi
apa-apa. Mengabari kekasihnya perkembangan sakitnya yang luar biasa sakitnya
kali ini. Dan tidak pernah dijawab.
Namun ia tahu, jauh di sana, betapa lebih sakit kekasihnya menahan
rasa ingin memeluk atau sekedar berbisik “All will well”.
Hari ini, air mata itu jatuh lagi. Bukan karena tembang
Bruno Mars – When I Was Your Man terdengar berkali-kali. Bukan juga karena
perutnya yang terlalu sakit. Tetapi saat ia meminta maaf, mungkin untuk
terakhir kalinya.
“I can’t stop to annoy you David. Not until I really know
that you will never come back”
Hatinya girang, waktu tau kekasihnya (bukan lagi) bisa
dihubungi. Dan lalu lelakinya menjawab
“You will find a nice guy someday”.
Degup jantungnya semakin cepat, air matanya ditahan,
takut-takut Ayah-Ibunya mendapati gadis kecilnya menangis, dipatahkan hatinya
karena asmara.
“Is it a pushy things to makes me move on? I’m trying. Trust
me I’m trying.
Don’t push me too hard to move my feet, Dave. I’ve tried
many times. And I need some time.”
Perempuan ini semakin tidak terima, ketika memang ia sadari
bahwa pekerjaan itu, yang merenggut kekasihnya kembali pulang. Pulang ke negara
asalnya, bukan pulang ke hatinya. Bukan karena lelakinya tidak mau bersamanya
tapi memang semua tentang pekerjaan.
Kalau saja ia bisa lari dan menuntut semuanya, tapi tidak ia
lakukan. Hatinya keras, memaksakan dirinya menerima semua dan menjanjikan semua
akan baik saja. Walau ia terlalu lelah, menjanjikan hal yang sama dengan nyata
yang tak pernah sama.
Tepat 2 hari yang lalu ia berteriak kecil “No, no, no, no,
no, no way I’m not waking up tomorrow morning and finding that there’s no David
and Doogle around!”
Hari ini, 22 Agustus 2013, tepat di hari mereka harus
benar-benar berpisah, ada selamat tinggal terucap:
“Take care, Dave. Thanks for being my life.”
Tangisnya pecah. Dan semua terasa dingin. Beku, hawa panas
hilang diserapnya.
untuk engkau yang mencinta dan dicinta :')
No comments:
Post a Comment