Tuesday, June 24, 2014

Semesta Yang Paling Setia


“Mungkin suatu hari aku bakal jatuh cinta lagi, J. Mungkin.”

Kalimat itu sudah terlontar bahkan dari pertama kali saat matanya bertanya-tanya kalau-kalau dia punya kesempatan. Iya, matanya bicara banyak, lebih banyak daripada lidahnya yang mungkin beku dan kelu, tahu bahwa perempuan di depannya penuh luka.

Salah saya, lupa bahwa perasaan manusia bisa berubah dalam sekejap saja. Sekejap saja. Di saat yang indah saya tahu semua akan hanya ada di awal saja, atau mudah saja terhapus oleh waktu, entah kenapa saya memilih menjadi naïf. Naïf berfikir bahwa semua akan baik saja, yang indah akan bertahan selamanya, perasaan akan tetap terjaga seperti langit memeluk mataharinya di siang hari dan membiarkannya istirahat dan digantikan oleh bulan, namun manusia-nya tahu bahwa kasih semesta tidak pernah ada tandingannya.

Kami tidak bicara akhir-akhir ini, tidak bicara sebagai dua orang dengan kapasitasnya sebagai manusia. Kami sibuk bicara dengan diri sendiri, perang dengan hati, lalu kami bicara dengan kebencian. Kami sibuk berharap bahwa dendam akan tersalurkan dan akan dirasa dengan sendirinya. Kami sibuk mencari tahu kenapa matanya dan mata saya adalah hal pertama yang masing-masing kami lihat di pagi hari, waktu matahari mulai mencuri perhatian.

Selebihnya, kami bahkan tidak mau lagi mengenang apa yang terjadi empat minggu lalu. Hari-hari di mana entah kenapa saya yakin saat itu, bahwa dia satu-satunya yang mampu menjaga sebentuk hati yang sebenarnya tidak lagi berbentuk.

Biar saya mengalah, berbaik dengan diri sendiri dan meyakinkan diri bahwa, bahwa hati juga bisa salah.