“Mungkin suatu hari aku bakal jatuh cinta lagi, J. Mungkin.”
Kalimat itu sudah terlontar bahkan dari pertama kali saat
matanya bertanya-tanya kalau-kalau dia punya kesempatan. Iya, matanya bicara
banyak, lebih banyak daripada lidahnya yang mungkin beku dan kelu, tahu bahwa
perempuan di depannya penuh luka.
Salah saya, lupa bahwa perasaan manusia bisa berubah dalam
sekejap saja. Sekejap saja. Di saat yang indah saya tahu semua akan hanya ada
di awal saja, atau mudah saja terhapus oleh waktu, entah kenapa saya memilih
menjadi naïf. Naïf berfikir bahwa semua akan baik saja, yang indah akan
bertahan selamanya, perasaan akan tetap terjaga seperti langit memeluk
mataharinya di siang hari dan membiarkannya istirahat dan digantikan oleh bulan,
namun manusia-nya tahu bahwa kasih semesta tidak pernah ada tandingannya.
Kami tidak bicara akhir-akhir ini, tidak bicara sebagai dua orang
dengan kapasitasnya sebagai manusia. Kami sibuk bicara dengan diri sendiri,
perang dengan hati, lalu kami bicara dengan kebencian. Kami sibuk berharap
bahwa dendam akan tersalurkan dan akan dirasa dengan sendirinya. Kami sibuk
mencari tahu kenapa matanya dan mata saya adalah hal pertama yang masing-masing
kami lihat di pagi hari, waktu matahari mulai mencuri perhatian.
Selebihnya, kami bahkan tidak mau lagi mengenang apa yang
terjadi empat minggu lalu. Hari-hari di mana entah kenapa saya yakin saat itu,
bahwa dia satu-satunya yang mampu menjaga sebentuk hati yang sebenarnya tidak
lagi berbentuk.
Biar saya mengalah, berbaik dengan diri sendiri dan
meyakinkan diri bahwa, bahwa hati juga bisa salah.
No comments:
Post a Comment