Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Hanya saja, luka dan duka yang tidak kunjung hilang, selalu mengantarkan saya kepada pertanyaan, kenapa surga harus berada di telapak kaki Ibu? Kenapa tidak di telapak kaki Ayah? Atau kenapa tidak di antara bintang, yang selalu ada walau bumi sedang berputar.
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa sapu lidi yang mereka gunakan untuk membersihkan kotoran, melayang di tubuh saya setiap kali Ibu berhadapan dengan rasa marah?
Kenapa tangan halus Ibu saat menyusui saya dan kedua kakak-kakak saya harus menjadi merah setelah Ibu mendaratkan keras di tubuh saya saat kesal sedang menghantui Ibu?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa Ibu membiarkan bahu orang lain menjadi sandaran untuk saya, saat saya menangis ketakutan, waktu Ibu kerasukan setan entah apa, Ibu hanya ingin melampiaskan semua amarah kepada saya.
Kenapa Ibu memaksa saya bersalaman dengan seorang rentenir, hanya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa anak Ibu punya rasa hormat dan agar dibekali seribu rupiah?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa buah tangan untuk saya, dari salah satu sanak saudara, Ibu gunakan untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, dari anak Ibu sendiri?
Kenapa Ibu mencaci lelaki saya, dan mendadak memujanya setengah mati waktu tau dia sangat berlimpah materi?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Kasih saya tetap ada, saya tetap memuja Ibu dan masih bangga, waktu sujud Ibu kepada Tuhanmu, berada di bawah ayat Tuhan perantara saya.
Kali itu saya masih percaya bahwa ikhlas berada di sana, di antara jarak dan perbedaan.
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Hari ini, sebuah rangkaian kalimat oleh salah seorang sahabat, saya baca kembali, dia bahkan tidak lupa mengingatkan "jangan keraskan hatimu, tetap didengar rupanya kalau sudah berdoa buat anaknya."
Selamat ulang tahun Ma! Jangan mengemis lagi soal cinta, karena yang ditawarkan manusia memang tidak ada yang sempurna.
Dari penggalan "Sudah Lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu."
Untuk para Ibu dan untuk calon Ibu yang memutuskan untuk tidak melahirkan anaknya, lengkap dengan segala laranya,
Hanya saja, luka dan duka yang tidak kunjung hilang, selalu mengantarkan saya kepada pertanyaan, kenapa surga harus berada di telapak kaki Ibu? Kenapa tidak di telapak kaki Ayah? Atau kenapa tidak di antara bintang, yang selalu ada walau bumi sedang berputar.
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa sapu lidi yang mereka gunakan untuk membersihkan kotoran, melayang di tubuh saya setiap kali Ibu berhadapan dengan rasa marah?
Kenapa tangan halus Ibu saat menyusui saya dan kedua kakak-kakak saya harus menjadi merah setelah Ibu mendaratkan keras di tubuh saya saat kesal sedang menghantui Ibu?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa Ibu membiarkan bahu orang lain menjadi sandaran untuk saya, saat saya menangis ketakutan, waktu Ibu kerasukan setan entah apa, Ibu hanya ingin melampiaskan semua amarah kepada saya.
Kenapa Ibu memaksa saya bersalaman dengan seorang rentenir, hanya untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa anak Ibu punya rasa hormat dan agar dibekali seribu rupiah?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Tapi kenapa buah tangan untuk saya, dari salah satu sanak saudara, Ibu gunakan untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, dari anak Ibu sendiri?
Kenapa Ibu mencaci lelaki saya, dan mendadak memujanya setengah mati waktu tau dia sangat berlimpah materi?
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Kasih saya tetap ada, saya tetap memuja Ibu dan masih bangga, waktu sujud Ibu kepada Tuhanmu, berada di bawah ayat Tuhan perantara saya.
Kali itu saya masih percaya bahwa ikhlas berada di sana, di antara jarak dan perbedaan.
Saya tidak pernah membenci Ibu, kalau Ibu benar-benar ingin tahu.
Hari ini, sebuah rangkaian kalimat oleh salah seorang sahabat, saya baca kembali, dia bahkan tidak lupa mengingatkan "jangan keraskan hatimu, tetap didengar rupanya kalau sudah berdoa buat anaknya."
Selamat ulang tahun Ma! Jangan mengemis lagi soal cinta, karena yang ditawarkan manusia memang tidak ada yang sempurna.
Dari penggalan "Sudah Lima Belas Tahun aku tak Bertemu Ibu."
Untuk para Ibu dan untuk calon Ibu yang memutuskan untuk tidak melahirkan anaknya, lengkap dengan segala laranya,
dari Bali.
No comments:
Post a Comment